BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar
Balakang
Perkembangan dunia
yang semakin maju, peradaban manusia tampil gemilang sebagai refleksi dari
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, persoalan-persoalan norma dan hokum
kemasyarakatan dunia bisa bergeser, sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi
masyarakat yang bersangkutan. Di dalam
masyarakat modern seperti di barat, kebutuhan dan aspirasi masyarakat menempati
kedudukan yang tinggi, sehingga berdasarkan itu, suatu produk hukum yang baru
dibuat. Dari sini dapat digambarkan bahwa apabila terjadi
pergeseran nilai dalam masyarakat, maka interfretasi terhadap hukum pun bisa
berubah. Masalah euthanasia telah lama dipertimbangkan oleh kalangan kedokteran
dan para praktisi hokum di Negara-negara barat. Di Indonesia ini juga pernah
dibahas, seperti yang dilakukan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam
seminar tahun 1985 yang melibatkan para ahli kedokteran ahli hukum positif dan
hukum Islam. Mengenai pembahasan euthanasia ini masih terus di perdebatkan,
terutama ketika masalahnya dikaitkan dengan pertanyaan bahwa menentukan mati
itu hak sapa, dan dari sudut mana ia dilihat. Dengan adanya makalah ini, penulis
berharap dapat mengungkapkan suatu pandangan konprehensif mengenai euthanasia
menurut hukum Islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Pengertian Euthanasia
2.
Macam-macam Euthanasia
3.
Pandangan / Tinjauan Hukum Islam terhadap Euthanasia
C.
Tujuan
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui
seluk beluk euthanasia menurut pandangan Islam, serta memenuhi tugas Fiqh
Kontemporer.
D. Metode Penyusunan
Penulis menggunakan metode kepustakaan yaitu dengan cara
mengumpulkan buku – buku yang direkomendasikan serta mengkaji dan mencuplik
makalah yang telah penulis kaji.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Euthanasia
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu
yang berarti “baik”, dan thanatos, yang berarti “kematian”.[1] Dalam bahasa Arab dikenal
dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran,
euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami
seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian
seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya
.
Jadi, euthanasia adalah tindakan mengakhiri hidup
seseorang secara tidak menyakitkan, ketika tindakan tersebut dapat dikatakan
sebagai bantuan untuk meringankan penderitaan dari individu yang akan
mengakhiri hidupnya.
Ada empat metode euthanasia:
1. Euthanasia sukarela: ini dilakukan oleh individu yang secara
sadar menginginkan kematian.
2. Euthanasia non sukarela: ini terjadi ketika individu tidak mampu
untuk menyetujui karena faktor umur, ketidak mampuan fisik dan mental. Sebagai
contoh dari kasus euthanasia non sukarela ini adalah menghentikan bantuan
makanan dan minuman untuk pasien yang berada di dalam keadaan vegetatif (koma).
3. Euthanasia tidak
sukarela: ini
terjadi ketika pasien yang sedang sekarat dapat ditanyakan persetujuan, namun
hal ini tidak dilakukan. Kasus serupa dapat terjadi ketika permintaan untuk
melanjutkan perawatan ditolak.
4. Bantuan bunuh diri: ini sering diklasifikasikan sebagai salah
satu bentuk euthanasia. Hal ini terjadi ketika seorang individu diberikan
informasi dan wacana untuk membunuh dirinya sendiri.
Permohonan Euthanasia merupakan refleksi kegagalan
dalam menyediakan jaminan kesehatan. Saat ini di Indonesia sudah ada kasus
tentang Euthanasia. Akan tetapi, sampai saat ini belum ada peraturan yang jelas
tentang kasus tersebut. Padahal kasus ini sama dengan tindak pidana yang
menghilangkan nyawa seseorang. Beberapa orang setuju dengan adanya Euthanasia
karena dipikir dapat mengurangi rasa sakit pasien. Ada juga pihak yang tidak
setuju karena termasuk tindak pidana yang menghilangkan nyawa seseorang, selain
itu dianggap melampaui batas manusia untuk mencabut nyawa manusia padahal hanya
Allah yang berhak untuk mencabut nyawa seseorang.
B. Macam-macam
Euthanasia
Di dalam prakteknya, euthanasia dibagi menjadi dua macam, yaitu :
1.
Euthanasia Positif
Eutanasia positif adalah tindakan memudahkan kematian si sakit -karena
kasih sayang- yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat)
atau obat.[2]
Contohnya, seorang yang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang
luar biasa hingga penderita sering pingsan. Dalam hal ini dokter yakin bahwa
yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan
takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya,
tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.
2. Eutanasia Negatif
Euthanasia negatif adalah tindakan membiarkan saja pasien yang sudah
parah sakitnya tanpa tindakan pengobatan.[3]
Contohnya orang yang mengalami keadaan koma yang sangat lama. Dalam
keadaan demikian ia hanya mungkin dapat hidup dengan mempergunakan alat bantu
pernapasan di ruang ICU atau ICCU. Alat pernapasan itulah yang memompa udara ke
dalam paru-parunya dan menjadikannya dapat bernapas secara otomatis. Jika alat
pernapasan tersebut dihentikan, si penderita tidak mungkin dapat melanjutkan
pernapasannya.
Ada yang menganggap bahwa orang sakit seperti ini sebagai `orang mati`
yang tidak mampu melakukan aktivitas. Maka memberhentikan alat pernapasan itu
sebagai cara yang positif untuk memudahkan proses kematiannya. Dalam contoh
tersebut, `penghentian pengobatan` merupakan salah satu bentuk eutanasia
negatif.
C. Pandangan /
Tinjauan Hukum Islam terhadap Euthanasia
Hukum
Euthanasia Positif
Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) jelas-jelas
tidak diperkenankan oleh syariat Islam. Sebab yang demikian itu berarti dokter
melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat
kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis.[4]
Maka dalam hal ini, dokter telah melakukan pembunuhan, baik dengan cara
pemberian obat overdossis yang pada hakikatnya merupakan racun yang keras,
ataupun dengan menggunakan senjata tajam. Semua itu termasuk pembunuhan yang
haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan. Oleh karena itu
serahkanlah urusan tersebut kepada Allah SAW, karena Dia-lah yang memberi
kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang
telah ditetapkan-Nya.
Hukum
Euthanasia Negatif
Adapun memudahkan proses kematian dengan cara pasif, maka semua berkisar
pada `menghentikan pengobatan` atau tidak memberikan pengobatan. Hal ini
didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada
gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah
dan hukum sebab-akibat.
Dasar
Kebolehan
Di antara yang mendasari kebolehan melakukan euthanasi negatif, yaitu
tindakan mendiamkan saja si pasien dan tidak mengobati, adalah salah satu
pendapat di kalangan sebagian ulama. Yaitu bahwa hukum mengobati atau berobat
dari penyakit tidak sepenuhnya wajib. Bahkan, pendapat ini cukup banyak
dipegang oleh imam-imam mazhab. Menurut sebagian mereka, hukum mengobati atau
berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Tetapi bukan berarti semua ulama
sepakat mengatakan bahwa hukum berobat itu mubah. Dalam hal ini sebagian dari
para ulama itu tetap mewajibkannya. Misalnya apa yang dikatakan oleh
sahabat-sahabat Imam Syafi`i dan Imam Ahmad bin Hanbal, juga sebagaimana yang
dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah. Mereka itu tetap beranggapan
bahwa berobat dan mengupayakan kesembuhan merupakan tindakan yang mustahab (sunnah).[5]
Perbedaan
Pendapat
Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama:
berobat ataukah bersabar? Bersabar di sini berarti tidak berobat. Di antara
mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih utama,
berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan dalam kitab sahih dari seorang
wanita yang ditimpa penyakit epilepsi. Wanita itu meminta kepada Nabi saw. agar
mendoakannya, lalu beliau menjawab:
Jika
engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan mendapatkan surga; dan jika
engkau mau, akan saya doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.` Wanita itu
menjawab, aku akan bersabar. `Sebenarnya saya tadi ingin dihilangkan penyakit
saya. Oleh karena itu doakanlah kepada Allah agar saya tidak minta dihilangkan
penyakit saya.` Lalu Nabi mendoakan orang itu agar tidak meminta dihilangkan
penyakitnya.
Di samping itu, juga disebabkan banyak dari kalangan sahabat dan tabi`in
yang tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan di antara mereka ada yang
memilih sakit, seperti Ubai bin Ka`ab dan Abu Dzar radhiyallahu`anhuma.
Dan tidak ada yang mengingkari mereka yang tidak mau berobat itu. Dalam kaitan
ini, Imam Abu Hamid al-Ghazali telah menyusun satu bab tersendiri dalam `Kitab
at-Tawakkul` dari Ihya` Ulumuddin, untuk menyanggah orang yang
berpendapat bahwa tidak berobat itu lebih utama dalam keadaan apa pun.
Demikian pendapat para fuqaha mengenai masalah berobat atau pengobatan
bagi orang sakit. Sebagian besar di antara mereka berpendapat mubah, sebagian
kecil menganggapnya mustahab (sunnah), dan sebagian kecil lagi --lebih sedikit
dari golongan kedua-- berpendapat wajib. Dalam hal ini penulis sependapat
dengan golongan yang mewajibkannya apabila sakitnya parah, obatnya berpengaruh,
dan ada harapan untuk sembuh sesuai dengan sunnah Allah Ta`ala. Inilah yang
sesuai dengan petunjuk Nabi saw. yang biasa berobat dan menyuruh
sahabat-sahabatnya berobat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Ibnul Qayyim
di dalam kitabnya Zadul-Ma`ad. Dan paling tidak, petunjuk Nabi saw. itu
menunjukkan hukum sunnah atau mustahab.
Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya mustahab atau
wajib, apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika sudah
tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnah Allah dalam hukum sebab-akibat
yang diketahui dan dimengerti oleh para ahlinya --yaitu para dokter-- maka
tidak ada seorang pun yang mengatakan mustahab berobat, apalagi wajib. Apabila
penderita sakit diberi berbagai macam cara pengobatan --dengan cara meminum
obat, suntikan, diberi makan glukose dan sebagainya, atau menggunakan alat
pernapasan buatan dan lainnya sesuai dengan penemuan ilmu kedokteran modern--
dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan,
maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak mustahab, bahkan
mungkin ke balikannya (yakni tidak mengobatinya) itulah yang wajib atau
mustahab.
Maka memudahkan proses kematian --kalau boleh diistilahkan demikian-- di
mana dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah,
sehingga tidak dikenai sanksi, maka tindakan pasif ini adalah bolehdan
dibenarkan syariat. Terutama bila keluarga penderita mengizinkannya dan dokter
diperbolehkan melakukannya untuk meringankan si sakit dan keluarganya, insya
Allah. Semua itu dengan pertimbagan bahwa membiarkan si sakit dalam kondisi
seperti itu hanya akan menghabiskan dana yang banyak bahkan tidak terbatas.
Selain itu juga menghalangi penggunaan alat-alat tersebut bagi orang lain yang
membutuhkannya dan masih dapat memperoleh manfaat dari alat tersebut. Di sisi
lain, penderita yang sudah tidak dapat merasakan apa-apa itu hanya menjadikan
sanak keluarganya selalu dalam keadaan sedih dan menderita, yang mungkin sampai
puluhan tahun lamanya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
dari uraian materi yang telah diungkapkan pada halaman sebelumnya, maka dapat
disimpulkan bahwa kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga
tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau
memperpendek umurnya sendiri. Orang yang
menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang
kadang dalam keadaan sekarat, dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa
tidak berkenan dihadapan Tuhan.
B. Saran
Penulis
menyarankan bagi pembaca agar dapat memahami pengertian euthanasia,
macam-macamnya, serta mengetahui hukum-hukumnya dalam agama Islam dan
per-UU-an. Bagi pembaca dan mahasiswa lain yang ingin mengetahui dan
memahami lebih dalam lagi mengenai materi ini, maka dapat menjadikan makalah
ini sebagai referensi. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
untuk kesempurnaan makalah ini selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar