BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar
Balakang
Pada zaman sekarang telah banyak
orang yang melakukan transplantasi tubuh, transfusi darah, dan bank ASI tanpa
memperhatikan kaidah-kaidah yang bertlaku dalam Islam. Mereka lebih
mengutamakan keuntungan pribadinya karena mereka senang melakukan tindakan yang
bersifat komersial. Oleh karena itu, Penulis mencoba memaparkan beberapa
penjelasan yang berkaitan dengan transplantasi tubuh, transfusi darah, dan bank
ASI dalm kaidah Islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Pengertian transplantasi tubuh,
transfusi darah, dan bank ASI
2.
Tujuan transplantasi tubuh dan
transfusi darah secara medis
3.
Hukum transplantasi berdasarkan
kondisi si donor dalam syari’at Islam
4.
Hukum transfusi darah dan
realitas fenomena sosial hari ini
5.
Hukum bank ASI dalam syari’at
Islam dikaitkan dengan kemaslahatan dan implikasinya terhadap perkawinan
C.
Tujuan
Tujuan penulisan
ini adalah untuk mengetahui hukum transplantasi
tubuh, transfusi darah dan bank ASI, serta untuk memenuhi penilaian terhadap tugas individu
pada mata kuliah Fiqh Kontemporer.
D. Metode Penulisan
Penulis menggunakan metode kepustakaan yaitu dengan cara
mengumpulkan buku – buku yang direkomendasikan serta mengkaji dan mencuplik
makalah yang telah penulis kaji.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Transplantasi Tubuh, Transfusi Darah, dan Bank Asi
1.
Transplantasi Tubuh
Transplantasi tubuh
merupakan pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya hidup yang sehat untuk
menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi dengan baik, yang
apabila diobati dengan prosedur medis biasa,
harapan penderita untuk bertahan hidupnya tidak ada lagi.
2. Transfusi
Darah
Transfusi
darah yaitu memindahkan darah dari seseorang kepada orang lain untuk
menyelamatkan jiwanya. Transfusi darah ini dilakukan dengan bantuan para medis
/ ahli di tempat yang telah ditentukan, misalnya rumah sakit, PMI, an
sebagainya.
3.
Bank ASI
Bank ASI merupakan lembaga
yang menyimpan ASI untuk disalurkan kepada bayi/balita yang membutuhkan.
B.
Tujuan
Transplantasi Tubuh dan Transfusi Darah Secara Medis
Secara
medis, tujuan transplantasi tubuh atau yang biasa disebut dengan pencangkokan
ini adalah untuk menyelamatkan jiwa pasien, yang apabila dilakukan pengobatan
medis biasa (umum), maka akan menghilangkan harapan pasien untuk bertahan hidup
lebih lama lagi.
Sedangkan transfusi darah bertujuan untuk
menyelamatkan jiwa orang yang kekurangan darah pada saat dilakukannya operasi
atau pengobatan secara medis.
C.
Hukum
Transplantasi berdasarkan Kondisi si Donor dalam Syari’at Islam
Transplantasi tubuh yang dilakukan dari donor yang dalam keadaan hidup
sehat, dalam Masyfuk Zuhdi, Masail Fqihiyyah (1994:86), Islam tidak membenarkannya
(melarang) karena :
1. Firman ALLAH
dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 195 yang artinya : “Dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” Ayat ini mengingatkan
manusia agar tidak gegabah dalm berbuat sesuatu yang berakibat fatal bagi
dirinya meskipun bertujuan kemanusiaan.
2. Kaidah hukum
Islam : menghindari kerusakan/resiko didahulukan atas menarik kemaslahatan.
Misalnya, menolong orang lain dengan cara mengorbankan dirinya sendiri yang
berakibat fatal bagi dirinya tidak dibolehkan dalam Islam.
Transplantasi tubuh yang dilakukan dari donor yang dalam keadaan koma atau hamper meninggal,
dalam Masyfuk Zuhdi, Masail Fqihiyyah (1994:86), Islam pun tidak membenarkannya (melarang) karena :
1. Menurut hadist
Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh
Malik dari Amar bin Yahya, yang artinya : “Tidak boleh membikin mudharat
pada dirinya dan tidak boleh pula membikin mudharat pada orang lain.”
2. Manusia wajib
berikhtiar untuk menyembuhkan penyakitnya demi mempertahankan hidupnya tanpa
mempercepat kematian orang lain.
Transplantasi tubuh yang dilakukan dari donor yang meninggal, dalam Masyfuk Zuhdi, Masail
Fqihiyyah (1994:86), Islam membenarkannya dengan
syarat :
1. Resipien dalam
keadaan darurat yang mengancam jiwanya.
2. Pencangkokan
tidak akan menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih gawat bagi resipien.
D.
Hukum Transfusi
Darah dan Realitas
Fenomena Sosial Hari Ini
Masalah
transfusi darah yaitu memindahkan darah dari seseorang kepada orang lain untuk
menyelamatkan jiwanya. Islam tidak melarang seorang muslim atau muslimah
menyumbangkan darahnya untuk tujuan kemanusiaan, bukan komersialisasi, baik
darahnya disumbangkan secara langsung kepada orang yang memerlukannya, misalnya
untuk anggota keluarga sendiri, maupun diserahkan pada palang merah atau bank
darah untuk disimpan sewaktu-waktu untuk menolong orang yang memerlukan.
Penerima
sumbangan darah tidak disyariatkan harus sama dengan donornya mengenai
agama/kepercayaan, suku bangsa, dsb. Karena menyumbangkan darah dengan ikhlas
adalah termasuk amal kemanusiaan yang sangat dihargai dan dianjurkan (mandub)
oleh Islam, sebab dapat menyelamatkan jiwa manusia, sesuai dengan firman Allah:
“dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka
seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al-Maidah:32). Jadi,
boleh saja mentransfusikan darah seorang muslim untuk orang non
muslim dan sebaliknya, demi menolong dan saling menghargai harkat sesama
umat manusia. Sebab Allah sebagai Khalik alam semesta termasuk manusia berkenan
memuliakan manusia, sebagaimana firman-Nya: “dan sesungguhnya Kami memuliakan
anak cucu Adam (manusia).” (QS. Al-Isra:70). Maka sudah seharusnya manusia bisa
saling menolong dan menghormati sesamanya.
Namun, untuk
memperoleh maslahat (efektivitas positif) dan menghindari mafsadah
(bahaya/risiko), baik bagi donor darah maupun bagi penerima sumbangan darah,
sudah tentu transfusi darah itu harus dilakukan setelah melalui pemeriksaan
yang teliti terhadap kesehatan keduanya, terutama kesehatan pendonor darah;
harus benar-benar bebas dari penyakit menular, seperti AIDS dan HIV. Penyakit
ini bisa menular melalui transfusi darah, suntikan narkoba, dll.
Jelas bahwa
persyaratan dibolehkannya transfusi darah itu berkaitan dengan masalah medis,
bukan masalah agama. Persyaratan medis ini harus dipenuhi, karena adanya
kaidah-kaidah fiqih seperti: “Adh-Dhararu Yuzal” (Bahaya itu harus dihilangkan/
dicegah). Misalnya bahaya penularan penyakit harus dihindari dengan
sterilisasi, dsb., “Ad-Dhararu La Yuzalu Bidharari Mitslihi” (Bahaya itu tidak
boleh dihilangkan dengan bahaya lain). Misalnya seorang yang memerlukan transfusi
darah karena kecelakaan lalu lintas atau operasi, tidak boleh menerima darah
orang yang menderita AIDS, sebab bisa mendatangkan bahaya lainnya yang lebih
fatal. Dan Kaidah “La Dharara wa La Dhirar” (Tidak boleh membuat mudarat kepada
dirinya sendiri dan tidak pula membuat mudarat kepada orang lain). Misalnya
seorang pria yang terkena AIDS tidak boleh kawin sebelum sembuh. Demikian pula
seorang yang masih hidup tidak boleh menyumbangkan ginjalnya kepada orang lain
karena dapat membahayakan hidupnya sendiri. Kaidah terakhir ini berasal dari
hadits riwayat Malik, Hakim, Baihaqi, Daruquthni dan Abu Said al-Khudri. Dan
riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Abbas dan Ubadah bin Shamit.
Adapun
hubungan antara donor dan resipien, adalah bahwa transfusi darah itu tidak membawa
akibat hukum adanya hubungan kemahraman antara donor dan resipien. Sebab
faktor-faktor yang dapat menyebabkan kemahraman sudah ditentukan oleh Islam
sebagaimana tersebut dalam An-Nisa:23, yaitu: Mahram karena adanya hubungan
nasab. Misalnya hubungan antara anak dengan ibunya atau saudaranya sekandung,
dsb, karena adanya hubungan perkawinan misalnya hubungan antara seorang dengan
mertuanya atau anak tiri dan istrinya yang telah disetubuhi dan sebagainya, dan
mahram karena adanya hubungan persusuan, misalnya hubungan antara seorang
dengan wanita yang pernah menyusuinya atau dengan orang yang sesusuan dan
sebagainya.
Selain,
masalah hukum donor dan transfusi darah, di lapangan juga muncul praktik jual
beli darah baik dilakukan secara resmi oleh pihak PMI maupun ilegal oleh oknum.
Bahkan tidak jarang secara personal terjadi transaksi jual-beli darah. Menurut
sumber pegiat donor darah, hingga kini dampak kekurangan stok darah, terus
berimbas ke hal lain, salah satunya merupakan praktik jual beli darah. Yang
masih kerap terjadi di daerah-daerah seperti Medan dan Jakarta. Alasannya,
praktik penjualan darah terjadi karena terjadi ketimpangan antara suplai dan
kebutuhan darah. Kekurangan pasokan darah di Palang Merah Indonesia (PMI)
biasanya terjadi terutama saat bulan puasa. Karena pada saat itu sangat sedikit
orang yang mendonorkan darahnya. Biasanya mereka yang menjual darah kepada
orang atau keluarga pasien yang membutuhkan sudah menunggu di depan kantor PMI.
Ketika darah yang dibutuhkan tidak ada, ada orang yang menjual darah menawarkan
diri menjadi pendonor.
E.
Hukum Bank Asi dalam Syari’at Islam dikaitkan dengan Kemaslahatan dan Implikasinya terhadap Perkawinan
Perbedaan pandangan ulama terhadap beberapa masalah
penyusuan, mengakibatkan mereka berbeda pendapat di dalam menyikapi munculnya
Bank ASI:
Pendapat Pertama menyatakan
bahwa mendirikan bank ASI hukumnya boleh. Salah satu alasannya: Bayi tidak bisa
menjadi mahram bagi ibu yang disimpan asinya di bank ASI karena susuan yang
mengharamkan adalah jika dia menyusu langsung. Sedangkan dalam kasus ini, sang
bayi hanya mengambil ASI yang sudah dikemas.
Pendapat Kedua
menyatakan hukumnya haram. Menimbang dampak buruknya menyebabkan tercampurnya
nasab dan mengikuti pendapat jumhur yang tidak membedakan antara menyusu
langsung atau lewat alat. Majma’ al Fiqh al Islami (OKI) dalam Muktamar yang
diselenggarakan di Jeddah pada tanggal1-6 Rabi’u at Tsani 1406 H memutuskan
bahwa pendirian Bank ASI di negara-negara Islam tidak dibolehkan, dan seorang
bayi muslim tidak boleh mengambil ASI darinya.
Pendapat Ketiga
menyatakan bahwa pendirian Bank ASI dibolehkan jika telah memenuhi beberapa
syarat yang sangat ketat, diantaranya: setiap ASI yang dikumpulkan di
Bank ASI harus disimpan di tempat khusus dengan meregistrasi nama pemiliknya
dan dipisahkan dari ASI-ASI yang lain. Setiap bayi yang mengkonsumsi ASI
tersebut harus dicatat detail dan diberitahukan kepada pemilik ASI supaya jelas
nasabnya. Dengan demikian, percampuran nasab yang dikhawatirkan oleh para ulama
yang melarang bisa dihindari.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian materi yang telah diungkapkan
pada halaman sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa
1. Transplantasi tubuh menurut hokum Islam hukumnya boleh dengan beberapa
syarat tertentu.
2. Islam tidak melarang seorang muslim atau muslimah menyumbangkan
darahnya untuk tujuan kemanusiaan, bukan komersialisasi, baik darahnya
disumbangkan secara langsung kepada orang yang memerlukannya, misalnya untuk
anggota keluarga sendiri, maupun diserahkan pada palang merah atau bank darah
untuk disimpan sewaktu-waktu untuk menolong orang yang memerlukan.
3. Sebaiknya tidak usah didirikan Bank ASI
selama hal tersebut tidak darurat. Karena bank ASI mempunyai dampak buruk,
yaitu : Pertama,Terjadinya percampuran nasab, jika distribusi ASI
tersebut tidak diatur ini secara ketat. Kedua, Pendirian Bank ASI
memerlukan biaya yang sangat besar, terlalu berat ditanggung oleh negara-negara
berkembang, seperti Indonesia. Ketiga, ASI yang disimpan dalam Bank,
berpotensi untuk terkena virus dan bakteri. Kualitas ASI juga bisa menurun
drastis, jika dibandingkan dengan ASI yang langsung dihisap bayi dari ibunya.
Keempat, kekhawatiran munculnya fenomena mengkomersilkan ASI dengan harga
tinggi sebagai ganti susu formula. Kelima, Ibu-ibu wanita karir
yang super, akan semakin malas menyusui anak-anak mereka, karena bisa membeli
ASI dari Bank dengan harga berapapun. Wallahu A’lam
4. Membuat Bank Air Susu Ibu (ASI) dan Donor ASI
tidak ada larangan dalam Islam, selagi pencatatannya yang memberi dan menerima
jelas. Selain itu secara medis ibu pendonor harus sehat, seiman dan dari ibu
yang memiliki jenis kelamin anak yang sama serta yang paling penting
suami
B. Saran
Penulis menyarankan bagi pembaca agar dapat memahami hukum transplantasi tubuh,
transfuse darah, dan bank ASI dalam agama Islam dan per-UU-an. Bagi pembaca dan mahasiswa lain yang ingin mengetahui dan
memahami lebih dalam lagi mengenai materi ini, maka dapat menjadikan makalah
ini sebagai referensi. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
untuk kesempurnaan makalah ini selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Masyfuk Zuhdi, Masail Fqihiyyah,
Jakarta: Haji Masagung, 1994
Tihami, MA. dan Sohari
Sahrani, Masail Al Fiqhiyah,
Jakarta: Diadit Media,2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar